Definisi
Madden Julian
Oscillation adalah suatu gelombang atau osilasi
sub musiman yang terjadi di lapisan troposfer wilayah tropis, akibat dari
sirkulasi sell skala besar di ekuatorial yang bergerak dari barat ke timur
yaitu dari laut Hindia ke Pasifik Tengah dengan rentang daerah propagasi 15°LU
- 15°LS. MJO secara alami terbentuk dari sistem interaksi laut dan atmosfer,
dengan periode osilasi kurang lebih 30-60 hari (Madden dan Julian, 1971, 1972).
MJO pertama kali
ditemukan oleh Roland A. Madden dan Paul R. Julian pada tahun 1971,
mereka menemukan semacam osilasi yang berperiode 41-53 hari pada saat
menganalisis anomali angin zonal di Pasifik Tropis dengan menggunakan data
tekanan 10 tahun P. Canton (2,8°S,171,7°W) dan data angin lapisan atas
Singapore (Madden dan Julian 1971,1972). Namun seiring dengan perkembangan
penelitian, dengan mengevaluasi data stasiun dan menambahkan titik pengamatan
serta periode waktu yang berbeda, mereka menyatakan osilasi tersebut lebih
sering mengarah kepada osilasi 30-60 hari (Madden dan Julian,1994).
Madden Julian Oscillation juga merupakan fluktuasi utama dari sirkulasi
atmosfer yang menjelaskan variasi cuaca di tropis dan meregulasi Monsun Asia
Selatan (South asian Monsoons). MJO mempengaruhi variasi dari angin, SST, awan,
dan curah hujan, selain itu MJO juga memicu terjadinya fenomena ENSO yang
sangat dikenal sebagai sinyal tunggal yang terkemuka dari variasi intraseasonal
iklim di bumi (lau dan Chan,1986).
Salah satu fenomena
global yang mempengaruhi cuaca dan iklim Indonesia adalah Madden Julian Oscillation (MJO). MJO
merupakan fenomena dominan di kawasan ekuator akibat pengaruh awan-awan
konveksi yang terbentuk di atas Samudera Hindia (sebelah barat Indonesia)
kemudian bergerak ke arah timur di sepanjang garis ekuator (Hermawan 2010).
Menurut Seto (2002) MJO berperan penting sebagai variasi intra musim
(intraseasonal variations) yang berpengaruh terhadap variasi cuaca di daerah
tropis.
Mode dan Fase
Fenomena MJO mempunyai
dua mode/fase yang berbeda jelas sebagaimana yang diungkapkan (Suryantoro,2004)
yaitu fase basah-pelan dan kering-cepat dimana fase MJO basah-pelan dapat di
didentifikasikan pada saat divergensi paras atas maksimum berada di daerah
konveksi aktif seperti di daerah samudera Hindia,Pasifik Barat,Amerika Selatan
dengan kecepatan fase penjalaran 5 m/s. fase MJO kering-cepat muncul pada saat
gangguan bergerak melalui daerah- daerah dengan aktivitas konveksi rendah
seperti di Pasifik Tengah sampai Timur dan Atlantik dengan kecepatan penjalaran
berkisar 30 m/s untuk parameter tekanan permukaan serta 15-20 m/s untuk
parameter kecepatan potensial paras atas dan angin zonal.
MJO dibagi menjadi 8 fase yaitu:
fase-1 di Afrika ( 210o BB – 60o BT )
fase-2 di samudera Hindia bagian barat ( 60o BT – 80o BT )
fase-3 di samudera Hindia bagian timur ( 80o BT – 100o BT )
fase-4 & fase-5 di benua maritim Indonesia ( 100o BT – 140o BT )
fase-6 di kawasan Pasifik barat ( 140o BT-160o BT )
fase-7 di Pasifik tengah ( 160o BT – 180o BT )
fase-8 di daerah konveksi di belahan bumi bagian barat ( 180o – 160oBB ).
fase-1 di Afrika ( 210o BB – 60o BT )
fase-2 di samudera Hindia bagian barat ( 60o BT – 80o BT )
fase-3 di samudera Hindia bagian timur ( 80o BT – 100o BT )
fase-4 & fase-5 di benua maritim Indonesia ( 100o BT – 140o BT )
fase-6 di kawasan Pasifik barat ( 140o BT-160o BT )
fase-7 di Pasifik tengah ( 160o BT – 180o BT )
fase-8 di daerah konveksi di belahan bumi bagian barat ( 180o – 160oBB ).
Karakteristik dan
Mekanisme Kejadian
Meski uraian penelitian MJO sudah maju dengan mantap sepanjang tahun, tidak
satu pun dari teori-teori saat ini yang mampu secara penuh menjelaskan
karakteristik-karakteristik dasar MJO (Hayashi dan Golder, 1993). Kendatipun
demikian karakteristik MJO secara eksplisit terlihat sebagai propagasi wilayah
kenaikan (enhanced) dan penurunan (suppressed) dari curah hujan di wilayah
tropis, kejadian ini terlihat pertama kali di wilayah lautan Pasifik yang
menjalar menuju ke timur hingga lautan Pasifik Tengah.
Karakteristik secara eksplisit ini dapat dilihat karena pada umumnya hujan di
daerah tropis adalah hujan konvektif dimana puncak awan konvektif sangat dingin
dengan kata lain sedikit mengemisi radiasi gelombang panjang, Pergerakan awan
konvektif dari barat ke timur sepanjang Pasifik Tropis ditandai dengan
konvergensi di lapisan bawah (troposfer) dan divergensi di lapisan atas
(stratosfer), oleh karena itu MJO dapat dideteksi atau dimonitor dengan
memperhatikan variasi OLR yang di pancarkan oleh sensor inframerah pada
satelit.
Untuk menggambarkan karakterisik MJO lebih dalam (Rui dan Wang, 1990)
menggunakan struktur 3 dimensi yaitu ketika suppressed convective kuat dari
lautan Hindia hingga lautan Pasifik Tengah, anomali siklonik pada level 200 mb
bergerak mengikuti daerah dari suppressed convective. Dengan kondisi yang sama,
Anomali antisiklonik level pada 200 mb juga bergerak mengikuti daerah enchanced
convective dan sekali lagi menjadi kuat di samudera Hindia dan Pasifik Barat.
Kedua anomali tersebut juga terbentuk pada sisi berlawanan yang terbentuk di
permukaan, tetapi lebih lemah daripada yang terbentuk di troposfer
(Geerts dan Wheeler,1998).
(Geerts dan Wheeler,1998).
Identifikasi MJO
Madden Julian Oscillation dapat diidentifikasi dengan
berbagai cara,
(Wheeler et al., 2004) menyatakan bahwa MJO dapat diidentifikasi dengan 3
teknik pendekatan yaitu:
a. Penyaringan frekuensi panjang gelombang
b. Model forecast dari interaksi laut dan udara
c. Proyeksi dari observasi harian yang mengkombinasikan EOFs (Empirical Orthogonal Functions) pada rentang 15°S-15°N dari rata-rata OLR (Outgoing Long Wave Radiation), u850 dan u200 untuk mendapatkan dua indikasi yang dinamakan “Real-time Multivariate MJO” (RMM1 dan RMM2). Indeks ini terdiri dari RMM1,RMM2,Fase,dan Amplitudo Indeks dalam series waktu harian.
(Wheeler et al., 2004) menyatakan bahwa MJO dapat diidentifikasi dengan 3
teknik pendekatan yaitu:
a. Penyaringan frekuensi panjang gelombang
b. Model forecast dari interaksi laut dan udara
c. Proyeksi dari observasi harian yang mengkombinasikan EOFs (Empirical Orthogonal Functions) pada rentang 15°S-15°N dari rata-rata OLR (Outgoing Long Wave Radiation), u850 dan u200 untuk mendapatkan dua indikasi yang dinamakan “Real-time Multivariate MJO” (RMM1 dan RMM2). Indeks ini terdiri dari RMM1,RMM2,Fase,dan Amplitudo Indeks dalam series waktu harian.
OLR (Outgoing Longwave
Radiation) bulan Febuari
Siklus MJO ( Matthews
A.J,2000) ditunjukan berupa gugus-gugus awan tumbuh di Samudera Hindia lalu
bergerak ke arah timur dan membentuk suatu siklus dengan rentang 30-60 hari dan
dengan cakupan daerah 10N-10S.
Siklus MJO dapat diidentifikasi
menggunakan OLR sebagai salah satu cara untuk menggambarkan perjalanan siklus
MJO. Sedangkan Wang dan Rui melakukan penelitian munculnya MJO menggunakan data
OLR. Selain itu data satelit juga bisa digunakan untuk melihat indikasi adanya
konvektivitas kuat di tropis dan dimana wilayah yang terjadi konvektivitas
menyimpang dari rata-rata. Penyimpangan ini menjadi alat diagnosis fundamental
yang digunakan langsung untuk memonitor dan memprediksi Madden Julian
Oscillation (Gottschalck, et. al).
Dampak MJO bagi Indonesia
Troposfer adalah lapisan atmosfer paling bawah
dengan ketebalan lapisan rerata 10 km. Diatas ekuator puncak troposfer (tropopause)
mencapai sekitar 18 km (paling tinggi) (Tjasyono,2007). MJO mempengaruhi
aktivitas konveksi pada lapisan troposfer dimana, aktifitas konveksi merupakan
salah satu faktor yang penting dalam pembentukan awan konvektif. Awan konvektif
ialah awan yang terjadi karena kenaikkan udara di atas permukaan yang nisbi
panas (Tjasyono,1999). Dari awan konvektif tersebutlah muncul potensi
terjadinya hujan. Hujan yang terjadi tentunya adalah hujan konvektif, yaitu
terjadi akibat adanya pemanasan radiasi matahari dan proses thermal sehingga
menyebabkan udara permukaan mengalami pemuaian dan naik ke lapisan atas.
Fenomena MJO terkait
langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan
Samudra Pasifik bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama
angin baratan (westerly wind) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi
awan kumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas
tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari
di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia (Evana
et al. 2008)
Berdasarkan pantauan dari
citra satelit, pada tanggal 25 Januari 2009 posisi MJO berada pada fase 2 atau
tepatnya di sebelah tenggara India.Pada tanggal 31 Januari 2009 hingga tanggal
9 Pebruari 2009 pergerakan MJO mencapai fase 4 atau berada di sekitar pulau
Jawa. Pengaruh MJO ini berlanjut sampai pertengahan Pebruari 2009. Pada saat
itu pembentukan awan-awan tipe cumulonimbus sangat aktif di atmosfer sehingga
berpotensi menimbulkan hujan deras dengan intensitas sangat tinggi yang
berlangsung dalam beberapa hari. Kondisi ini perlu di waspadai karena dapat
menimbulkan banjir dan tanah longsor.
Fenomena MJO sendiri
sebenarnya tidak berpengaruh mendatangkan hujan lebat ketika posisi matahari
tidak berada di sebelah selatan khatulistiwa seperti sekarang
(Desember-Januari-Februari). Posisi matahari pada tiga bulan itu menyebabkan
penguapan tinggi di wilayah selatan khatulistiwa dan menimbulkan curah hujan tinggi
di wilayah-wilayah tertentu, termasuk di Indonesia.
Selain itu terdapat dua
lokasi bertekanan udara rendah, yaitu di sebelah barat Australia dan di sebelah
timur Australia. Tekanan udara rendah di barat Australia saat ini sudah
membentuk pusaran angin. Pusaran angin tersebut di antaranya telah melintasi
sebagian wilayah Indonesia.
Hal itu mengakibatkan terbentuk wilayah konvergensi (wilayah bertekanan rendah dikelilingi oleh wilayah bertekanan tinggi) sehingga terjadi pertumbuhan awan di wilayah Indonesia. Konvergensi tersebut terjadi akibat pertemuan antara massa udara bertekanan rendah dari pusaran angin di barat Australia dan massa udara dengan tekanan tinggi yang mengalir dari arah Asia. Lokasi konvergensi itu memanjang dari barat (Sumatera bagian selatan) menuju ke timur (sampai Nusa Tenggara). Wilayah konvergensi itulah yang akan menerima hujan lebat.
Hal itu mengakibatkan terbentuk wilayah konvergensi (wilayah bertekanan rendah dikelilingi oleh wilayah bertekanan tinggi) sehingga terjadi pertumbuhan awan di wilayah Indonesia. Konvergensi tersebut terjadi akibat pertemuan antara massa udara bertekanan rendah dari pusaran angin di barat Australia dan massa udara dengan tekanan tinggi yang mengalir dari arah Asia. Lokasi konvergensi itu memanjang dari barat (Sumatera bagian selatan) menuju ke timur (sampai Nusa Tenggara). Wilayah konvergensi itulah yang akan menerima hujan lebat.
Berikut ini adalah
terjemahan manual saya tentang artikel Madden-Julian Oscillation (MJO) semoga
bisa berguna bagi pembaca sekalian. Kalau ada terjemahan yang kurang tepat
tolong berikan komentar dan kritik anda.
MADDEN-JULIAN OSCILLATION
Oleh B. Geerts dan
M. Wheeler
Penemuan
Cuaca di daerah tropis
tak dapat diprediksi seperti halnya di daerah lintang sedang. Hal ini
disebabkan di daerah lintang sedang variabel-variabel cuaca (awan, presipitasi,
angin, suhu dan tekanan) sebagian besar ditentukan oleh gelombang Rossby
troposfer atas (upper-tropospheric) yang berinteraksi dengan cuaca permukaan
dalam suatu proses yang disebut instabilitas baroklinik (Catatan 13.B). Di
daerah tropis ini tak ada suatu instabilitas yang dominan atau pergerakan
gelombang dan karena itu cuaca dapat diprediksi tak lebih pada periode 1-10
hari. Sampai sekarang dipercaya bahwa variasi cuaca daerah tropis dalam skala
waktu pada dasarnya acak.
Di tahun 1971 Rolland Madden dan Paul Julian (1) menemukan secara tiba-tiba suatu osilasi 40-50 hari ketika menganalisa anomali zona angin di daerah tropis Pasifik. Mereka menggunakan pencatatan 10 tahunan tekanan di Kanton (pada 2,8°S di Pasifik) dan angin upper-level di Singapura. Osilasi permukaan dan angin upper-level yang ditandai selesai di Singapura. Hingga awal 1980-an perhatian sedikit terbayar dengan osilasi ini, yang menjadi terkenal sebagai Madden-Julian Oscillation (MJO) dan beberapa ilmuwan mempertanyakan kesignifikanannya secara global. Sejak peristiwa El-Nino 1982-1983, ada variasi frekuensi rendah di daerah tropis, keduanya dalam skala waktu intra-musiman (kurang dari satu tahun) dan inter-musiman (lebih dari satu tahun), telah mendapatkan lebih banyak perhatian, dan jumlah publikasi yang berkaitan dengan MJO meningkat drastis.
MJO juga berkenaan sebagai osilasi hari 30-60 atau hari 40-50, menghasilkan fluktuasi utama intra-musiman yang menjelaskan variasi-variasi cuaca di daerah tropis. MJO mempengaruhi seluruh troposfer daerah tropis bahkan lebih jelas di Samudera Hindia dan di barat Samudera Pasifik. MJO meliputi variasi-variasi dalam hal angin, suhu permukaan laut (SST), perawanan dan curah hujan. Dikarenakan kebanyakan curah hujan di tropis konvektif, dan awan tinggi konvektif sangat dingin (emitting little longwave radiation), serta MJO paling jelas dalam variasi outgoing longwave radiation(OLR) setara ukurannya dengan suatu sensor infra-merah di sebuah satelit.
Gambar 1. (dari Elleman, 1997) menunjukkan bagaimana anomali OLR di timur menyebar ke timur pada kecepatan sekitar 5 m/detik. Sinyal OLR di belahan bumi barat lebih lemah dan interval yang berulang-ulang untuk arah ke timur menyebarkan anomali OLR di belahan bumi timur sekitar 30 sampai 60 hari. Bagaimana pastinya penyebaran anomali dari garis penanggalan (dateline) ke Afrika (yaitu melalui belahan bumi barat) tak begitu dimengerti. Terlihat di dekat garis penanggalan (dateline) suatu gelombang Kelvin yang lemah menyebar ke arah timur dan ke arah kutub pada kecepatan melebihi 10 m/detik.
Sehubungan dengan penyebaran anomali konvektif, MJO meliputi variasi-variasi dalam sirkulasi global. MJO mempengaruhi intensitas dan periode perubahan angin monsoon Asia dan Australia dan berinteraksi dengan El-Nino. Musim hujan dalam monsoon Australia terjadi sekitar 40 hari yang terpisah. Berhampiran dengan korelasi lemah dengan pola curah hujan daerah lintang sedang dan karakteristik arus jet (jet stream) juga ditemukan (2).
Gambar 1. Permukaan dari radiasi outgoing longwave di sekitar globe antara 5° S dan 5° U selama 6 bulan (10/1991 hingga 3/1992). Interval kontur adalah 5 Wm-2. Area yang biru mempunyai anomali negatif melebihi 5 Wm-2. Data telah disaring untuk memindahkan variasi frekuensi tinggi.
Struktur dari gelombang
Madden-Julian
Di pusat konvensi
tekanan, langit yang bersih diasosiasikan dengan suatu inversi angin pasat
(trade wind) yang lebih kuat daripada normal memberikan radiasi gelombang
pendek yang menjangkau permukaan lautan (Gambar 2), menyebabkan suatu
peningkatan SST yang kecil meningkat dengan gelombang bergerak ke arah timur
(3). Angin pasat (trade wind) sangat kuat daripada normal, menjelaskan
evaporasi yang tinggi dari permukaan laut.
Gambar 2. Skema MJO.
Bagian silang mewakili sabuk ekuatorial di sekitar globe, atau tepat pada
belahan bumi timur. E berdiri untuk evaporasi, SW untuk radiasi gelombang
pendek yang diserap oleh lautan. Panah hijau penuh menunjukkan lokasi
konvergensi kelembapan terkuat. Panah hijau berlubang menunjukkan siklus
anomali yang dihubungkan dengan MJO. Area konveksi lemah (enhanced
convection) dindikasikan sebagai skema kuning hujan badai (thunderstrom)
(diadaptasi dari Elleman,1997).
Angin dari arah timur (dan angka evaporasi) melemah di dekat tepi kawasan konveksi tekanan, dan menuju pada konvergensi tekanan tingkat rendah (low-level moisture convergence). Hal ini memicu konveksi yang dalam, menuju paruh lain dari osilasi OLR, yaitu kawasan enhanced convection. Kawasan ini terdiri dari satu atau lebih kumpulan awan yang besar (super cloud clusters/SCCs) yang bergerak ke arah timur sepanjang gelombang MJ. Dalam SCCs, pergerakan ke barat kumpulan awan membentuk tepian timur SCC dan berhenti di tepi barat. Kelompok-kelompok kecil tersendiri bergerak ke timur, biasanya dengan sebaran diskret dan mempunyai usia 6-12 jam. Perjalanan SCCs ke arah timur pada kecepatan 5-10 m/detik, tak selama badai yang kompleks (storm complex) tapi lebih dari pergerakan suatu gelombang atau osilasi, yaitu MJO. MJO mempunyai jumlah gelombang 1-2, pada waktu sedikit ada satu atau dua daerah sekitar ekuator dengan konveksi kuat (enhanced convection) dan satu atau dua dengan konveksi lemah (suppressed convection).
Pergerakan MJO
Ekuator menangkap
gelombang (gelombang Kelvin dan Rossby) yang menjelaskan perkembangan
peristiwa El-Nino (Catatan 11.C) juga mekanisme pergerakan dari MJO.
Gelombang-gelombang ini terjadi di segenap troposfer dari 30° U ke 30° S,
sebagian besar pada belahan bumi timur. Permukaan udara mengalir dari konveksi
di kedua arah zona terhadap kawasan enhanced convection. Di atas troposfer,
anomali ke timur keluar dari sisi barat konveksi kuat (enhanced convection)
(Gambar 2). Yang kuat dari barat berasal dari sisi timur konveksi kuat
(enhanced convection) mengalir menuju konveksi lemah (suppressed convection).
(Gambar 3 dari 4). Ketika suppressed convection dari Samudera Hindia di
pertengahan Samudera Pasifik, siklon anomali berputar pada 200 mb mengikuti
kawasan konveksi lemah (suppressed convection). Demikian pula, antisiklon
berputar pada 200 mb mengikuti kawasan konveksi lemah
(suppressed convection) ketika itu menjadi kuat di Samudera Hindia dan
barat Pasifik. Perputaran pada artian berlawanan dibuat pada permukaan, tapi mereka
lebih lemah daripada ketika di tropopause. Sirkulasi zona dan perputaran
horizontal adalah proses penting daripada massa berjalan MJO di sekitar daerah
tropis.
Penjelasan di atas sederhana, pada keadaan ideal osilasi, sebagaimana terisolasi dari variasi-variasi lain. Sebagaimana yang dimaksudkan sebelumnya, kecepatan dan ukuran bervariasi, dan MJO sebagian besar menyebabkan pola curah hujan di Indonesia dan area sekitarnya. Tak semua bagian dari MJO: konveksi, zona angin, konvergensi kelembapan dan anomali SST selalu dapat dilihat (5). Hal ini hanya ketika hari 30-60 dikutip dari suatu rangkaian peristiwa MJO yang merupakan gambaran ideal kemunculan MJO. Urutan osilasi mempunyai variasi amplitudo, periode dan panjang gelombang campuran Kelvin-Rossby di sepanjang belahan bumi timur, tapi di sepanjang belahan bumi barat hanya menunjukkan suatu struktur gelombang Kelvin. Gelombang itu bergerak melalui belahan bumi barat pada kecepatan lebih tinggi (setidaknya 10 m/detik). Osilasi lebih kuat di musim dingin belahan bumi utara. Di musim ini juga anomali negatif OLR paling mungkin menyebar di sepanjang ekuator dari Samudera Hindia ke pusat Samudera Pasifik. Di musim panas belahan bumi utara, banyak dari anomali berbelok dari daerah tropis sebelum mereka jadi di pusat Samudera Pasifik (6).
Meskipun kompleksitas dan
ketergantungannya pada konveksi, inti dari MJO (periodesitas, struktur dan zona
asimetri) dapat disimulasikan dalam suatu GCM (7).
Referensi :
1. Madden, R.A., dan P.R. Julian, 1971: Detection of a 40-50 day oscillation in the wind in the tropical Pasific. J. Atmos. Sci., 28, 702-708
2. Madden, R.A., dan P.R. Julian, 1994: Observation of a 40-50 day tropical oscillation: a review in the wind in the tropical Pasific. J. Atmos. Sci., 28, 702-708
3. Jones, C., D.E. Waliser dan C. Gautier, 1998. The Influence of the Madden-Julian Oscillation on ocean surface heat fluxes and sea-surface temperatures. J. Climate 11, 1057-72 (juga di web: Coupled modes of air-sea interaction and Madden-Julian Oscillation.)
4. Rui, H., dan B, Wang, 1990: Development characteristics and dynamic structure of tropical intaseasonal convection anomalies. . J. Atmos. Sci., 47, 357-379.
5. Jones, C. dan B.C. Weare, 1996. The role of low-level moisture convergence and ocean latent-heat fluxes in the Madden-Julian Oscillation. J. Climate, 9, 3086-104.
6. Elleman, R. 1997: Predicting the Madden and Julian Oscillation Using a Statistical Model. (tidak dipublikasikan).
7. Hayashi, Y dan D.G. Golder 1993. Tropical 40-50 and 25-30 day oscillations. J. Atmos. Sci., 50, 464-94.
0 Komentar