Aeorosol di Atmosfer

AEROSOL DI ATMOSFER

Outline
1. Pengertian
2. Jenis Aerosol
3. Distribusi Aerosol
4. Mekanisme Aeorosol
5. Dampak Aerosol
6. Tipe-tipe Plume


PENGERTIAN

BAB XII AEROSOL


A.    Pengertian Aerosol
Aerosol merupakan partikel-partikel padat atau cair yang sangat kecil yang tersuspensi dalam medium gas. Pada umumnya aerosol berukuran 0,01 sampai 10 μm dengan konsentrasi bervariasi. Namun, aerosol dalam jumlah besar dapat berbahaya, mengganggu, dan mematikan

B.     Jenis-jenis Aerosol
Ada banyak sekali jenis-jenis aerosol. Semua itu tergantung dari sudut apa kita memandangnya.
1.        Berdasarkan ukuran
a.         Inti Aitken
Inti aitken merupakan aerosol yang memiliki diameter sangat kecil, yakni berkisar antara kurang dari 0,001 sampai 0,1 μm. Aerosol jenis ini banyak dihasilkan dari pembakaran dan konversi gas partikel.
b.         Inti Besar
Inti besar merupakan aerosol yang memiliki diameter berkisar antara 0, 1 sampai 1,0 μm. Aerosol jenis ini banyak ditemukan pada garam, spora halus, hasil pembakaran, serta penggumpalan inti aitken.
c.         Inti Raksasa
Inti raksasa merupakan aerosol yang memiliki diameter lebih dari 1,0 μm. Aerosol jenis ini banyak ditemukan pada garam, spora kasar, hasil dari proses industri.
2.        Berdasarkan sumbernya
a.         Alami
-       Emisi vulkanik
Lapisan aerosol vulkanik yang terbentuk di stratosfer berasal dari letusan gunung berapi besar seperti pada letusan Mt. Pinatubo. Lapisan aerosol dominan sebenarnya dibentuk oleh gas belerang dioksida yang dikonversi menjadi tetesan asam sulfat di stratosfer setelah letusan. Angin di stratosfer menyebarkan aerosol hampir menutupi seluruh dunia.
Setelah terbentuk, aerosol ini menempati stratosfer selama sekitar dua tahun. Aerosol memantulkan sinar matahari dan mengurangi jumlah energi yang mencapai atmosfer yang lebih rendah serta permukaan bumi. Kesejukan relatif pada tahun 1993 diperkirakan telah menjadi respon terhadap lapisan aerosol stratosfer yang dihasilkan oleh Mt. Pinatubo. Pada tahun 1995, meskipun beberapa tahun telah berlalu sejak letusan Mt. Pinatubo, sisa-sisa lapisan aerosol tetap berada di atmosfer. Data dari satelit seperti NASA Langley stratosfer Aerosol dan Percobaan Gas II (SAGE II) telah memungkinkan para ilmuwan untuk lebih memahami dampak dari aerosol vulkanik di atmosfer.
-       Emisi biogenik
Aerosol jenis ini dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan berupa senyawa organis tidak stabil (VOC: volatile organics compounds). Informasi mengenai mekanisme pelepasan VOC ini masih sangat sedikit yang diketahui mengingat sangat beragamnya jenis vegetasi yang dikenal. Salah satu jenis VOC yang sangat dikenal adalah Dimethyl Sulfide (DMS), yaitu jenis VOC utama yang dilepaskan oleh phytoplankton di lautan dan berperan penting dalam siklus  sulfur di atmosfer.
Selain itu, laut juga menghasilkan aerosol melalui mekanisme bursting bubbles pada permukaan laut. Dengan demikian maka lautan merupakan sumber aerosol yang sangat luas bagi atmosfer bumi (Warneck, 1988). Aerosol yang berasal dari laut utamanya merupakan aerosol garam laut misalnya Cl,  Na, dan Ca.
b.         Buatan Manusia
Selanjutnya, jenis aerosol yang berasal dari aktivitas manusia. Sebagian besar aerosol buatan manusia datang dalam bentuk asap dari pembakaran hutan tropis. Dan komponen utama datang dalam bentuk aerosol sulfat yang dibuat oleh pembakaran batu bara dan minyak. Konsentrasi aerosol sulfat buatan manusia di atmosfer telah berkembang dengan pesat sejak awal revolusi industri.
Pada tingkat produksi saat ini, aerosol sulfat buatan manusia diperkirakan lebih besar daripada aerosol sulfat diproduksi secara alami. Konsentrasi aerosol tertinggi di belahan bumi utara di mana kegiatan industri terpusat. Aerosol sulfat menyerap sinar matahari sehingga mengurangi jumlah sinar matahari yang mencapai permukaan bumi.
Aerosol sulfat diyakini bertahan di atmosfer selama sekitar 3 sampai 5 hari. Aerosol sulfat juga masuk ke dalam awan di mana aerosol imi menyebabkan jumlah tetesan awan meningkat tetapi dalam ukuran tetesan yang kecil.


C.     Distribusi Hujan










a.         Aerosol di Lapisan Troposfer
Aerosol adalah kumpulan dari partikel-partikel padat yang tersuspensi di dalam medium gas dalam waktu yang cukup lama dan memungkinkan untuk diamati dan diukur. Pada umumnya, partikel aerosol berukuran 0,001-100 µm sehingga kasat mata namun keberadaan- nya tidak dapat dipungkiri. Aerosol terdapat di atmosfer, dari permukaan hingga ketinggian stratosfer. Bahkan tanpa disadari, aerosol pun banyak terdapat di dalam ruangan, terutama ruangan tertutup dengan ukuran yang sangat halus (nano aerosol).
Aerosol dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu proses buatan  dan proses alami yang berasal dari aktivitas makhluk hidup. Pembakaran bahan bakar fosil, umpamanya untuk kegiatan industri dan transportasi, dipercaya memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap peningkatan jumlah aerosol atmosfer, khususnya di lapisan troposfer bawah. Kandungan sulfur pada bahan bakar fosil akan menghasilkan aerosol sulfat ke udara. Hampir sebagian besar jumlah aerosol yang terdapat di lapisan troposfer bawah merupakan turunan dari sulfurdioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Demikian juga dengan kebakaran hutan yang sering terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, menghasilkan aerosol dalam jumlah yang sangat banyak dan terdistribusi hingga ke tempat yang sangat jauh (remote    area).
Aerosol yang dihasilkan dalam persitiwa kebakaran hutan lebih dikenal dengan istilah aerosol organis ataupun black carbon.
Aerosol juga dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan berupa senyawa organis tidak stabil (VOC: volatile organics compounds). Informasi mengenai mekanisme pelepasan VOC ini masih sangat sedikit yang diketahui mengingat sangat beragamnya jenis vegetasi yang dikenal. Salah satu jenis VOC yang sangat dikenal adalah Dimethyl Sulfide (DMS), yaitu jenis VOC utama yang dilepaskan oleh phytoplankton di lautan dan berperan penting dalam siklus  sulfur di atmosfer. Selain itu, laut juga menghasilkan aerosol melalui mekanisme bursting bubbles pada permukaan laut. Dengan demikian maka lautan merupakan sumber aerosol yang sangat luas bagi atmosfer bumi (Warneck, 1988). Aerosol yang berasal dari laut utamanya merupakan aerosol garam laut misalnya Cl,  Na, dan Ca.
Ditinjau dari segi ukuran maka aerosol dapat dibagi menjadi tiga, yaitu inti aitken, inti besar, dan inti raksasa. Namun, klasifikasi terhadap ukuran ini sangat bergantung pada tujuannya (Kumar et al., 2010). Misalnya untuk tujuan kedokteran (toksikologi), aerosol diklasifikasikan menjadi ultrafine (< 100 nm), fine (< 1000 nm), dan coarse (> 1000 nm). Namun demikian, pembatasan klasifikasi tersebut tidaklah disepakati secara tegas, dan sangat bergantung pada tujuan dan penggunaannya.
b.        Aerosol di Lapisan Stratosfer
Munculnya aerosol di lapisan stratosfer didominasi kuat oleh letusan gunung berapi yang menyemburkan ribuan ton sulfur dioksida (SO2) ke atmosfer di samping material debu lainnya, bahkan mencapai lapisan stratosfer. Gas SO2 dapat berubah menjadi H2SO4/H2O langsung melalui konversi gas ini ke partikel serta reaksi heterogen dengan uap air melalui bantuan radiasi matahari pada ketinggian tertentu (McCormick et al., 1995). Di lapisan stratostefer, aerosol sulfat ini dapat menyebar hingga ke daerah yang sangat jauh, bergantung pada keadaan meteo makro dan sirkulasi global atmosfer. Letusan gunung berapi yang dahsyat akan meningkatkan secara cepat jumlah aerosol sulfat di lapisan stratosfer. Aerosol sulfat di lapisan stratosfer ini memiliki waktu hidup yang lebih lama dibandingkan dengan waktu  hidupnya di lapisan troposfer, khususnya troposfer bawah.
Salah satu letusan gunung berapi yang cukup dahsyat dan tercatat dalam sejarah adalah letusan Gunung Pinatubo di Philipina pada tanggal 15 Juni 1991.
Dunia ilmu pengetahuan mencatat bahwa letusan ini telah mengeluarkan sulfurdioksida yang sangat banyak jumlahnya, dari 500 ton (13 Mei)  menjadi 5.000 ton (28 Mei) atau meningkat sebanyak 10 kali lipat dalam 2 minggu pertama setelah letusan (Wikipedia, 2013). Jumlah sulfurdioksida yang dilepaskan selama terjadinya letusan adalah sebanyak 30 juta ton (McCormick et al., 1995). Gas sulfurdioksida akan bercampur dengan air dan oksigen di atmosfer dan berubah menjadi asam sulfat yang akan mempercepat proses penipisan lapisan ozon. Letusan ini juga menjadi salah satu letusan yang mendapatkan perhatian penuh dari seluruh ilmuwan dunia. Beberapa perkembangan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari letusan Mt. Pinatubo antara lain berkaitan dengan proses-proses dinamika awan dan aerosol, proses-proses radiatif bumi, dan proses-proses kimia yang terjadi di atmosfer. Selain berasal dari letusan gunung berapi yang dahsyat, aerosol di lapisan stratosfer juga berasal dari debu-debu meteorit di lapisan mesosfer, dan masuk ke dalam lapisan stratosfer melalui proses pengendapan.

D.    Mekanisme Aerosol









Aerosol yang berada di lapisan troposfer, akan terdeposisi ke permukaan bumi melalui 2 proses, yaitu :
1.        Proses deposisi basah
Terjadi jika aerosol terlarut ke dalam air hujan dan turun bersama-sama dengan hujan.
2.        Proses deposisi kering
Terjadi melalui proses pengendapan yang tidak melibatkan kejadian hujan.

Dampak Aerosol
1.        Dampak Aerosol terhadap Kesehatan
Pada waktu dihirup, partikel-partikel aerosol dapat menyingkirkan pertahanan alami dari sistem pernafasan dan lodge deep dalam paru-paru.
Aerosol sangat berbahaya untuk orang dengan penyakit seperti asma, bronkitis, dan empisema (bengkak pada paru-paru karena pembuluh darah kemasukan udara). Selain itu, juga berbahaya untuk orang dengan penyakit hati. Tingginya kadar benda-benda tersebut dalam udara dapat memicu serangan asma, merusak paru-paru, serta mendukung carcinogenesis, dan kematian dini.
2.        Dampak Aerosol terhadap Visibility
Salah Satu Contohnya adalah fenomena SMOG. Kata smog berasal dari dua kata, yaitu “smoke and fog. Adapun kerugian dari smoke adalah :
ü  Sakit kepala
ü  Iritasi mata, hidung, dan tenggorokan
ü  Kerusakan paru-paru              
ü  Batuk-batuk           
ü  Kerusakan tanaman
Berikut ini adalah ilustrasi pembentukan smog,
Formation (1)
3.        Dampak Aerosol terhadap Iklim Global
a.       Dampak Langsung
Dampak aerosol secara langsung terhadap sistem iklim bumi dapat dibagi menjadi dua yaitu (i) meningkatkan proses absorpsi (penyerapan) dan scattering (penghamburan)  radiasi  matahari,  dan (ii) menghamburkan, menyerap, dan memancarkan  radiasi panas (Lohmann, U. and J. Feichter, 2005). Adanya  aerosol di dalam atmosfer bumi akan meningkatkan Aerosol Optical Depth (AOD) dan memperluas penutupan awan yang berakibat pada menurunnya radiasi net matahari pada puncak awan sehingga terjadilah pendinginan (Lohmann U. and J. Feichter, 2005). Selain itu, aerosol- aerosol karbon dan debu akan menambah positive forcing pada puncak atmosfer, setidaknya di daerah dengan albedo permukaan yang tinggi, dan juga secara langsung menghangatkan atmosfer. Efek ini dapat diperkuat jika penyerapan radiasi matahari dari partikel-partikel aerosol ini terjadi di dalam tetes awan (Chÿlek, et al., 1996). Peningkatan temperatur ini akan mengurangi kelembapan relatif dan bisa juga menurunkan evaporasi tetes awan. Pengurangan penutupan awan dan AOD awan selanjutnya akan memperkuat pemanasan sistem atmosfer bumi.
Akibat penyerapan energi matahari oleh aerosol yang ada di atmosfer bumi maka sebagian energi sinar matahari akan tersimpan di atmosfer dan berpotensi untuk memanaskan atmosfer bumi. Sementara itu, penghamburan radiasi matahari yang disebabkan oleh aerosol menyebabkan radiasi matahari terpantulbalikkan ke luar  atmosfer bumi. Dampak aerosol secara langsung ini sangat bergantung pada sifat fisis aerosol tersebut dan disebut sebagai single scattering albedo, yaitu perbandingan antara radiasi yang dihamburkan dengan yang diserap oleh aerosol. Dalam hal ini, aerosol yang berukuran 0,1-1 µm (inti Aitken) merupakan partikel yang  paling efektif  dalam  menghamburkan radiasi matahari sehingga memegang peranan penting dalam iklim global. Karena ukurannya yang sangat kecil dan memiliki bobot yang sangat ringan maka inti aitken berpotensi untuk ditemukan pada ketinggian yang sangat tinggi (lapisan stratosfer).
Sebagai gambaran, aerosol yang bersumber dari letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991 berdampak langsung pada menurunnya intensitas radiasi matahari langsung (direct solar radiation) sebesar 25-30 % pada lokasi pengamatan yang disebar pada 4 lintang yang berbeda. Jumlah rata-rata Aerosol Optical Depth (AOD) total yang dihitung pada 10 bulan pertama setelah letusan adalah sebesar 1,7 kali lebih besar daripada yang teramati mengikuti letusan gunung El Chichon pada tahun 1982. Sementara itu, pada bulan September 1992 temperatur troposfer bawah global dan pada troposfer telah mengalami penurunan (global cooling) masing-masing sebesar 0,5 dan 0,7 °C dibandingkan dengan sebelum terjadinya letusan. Terjadinya global cooling ini dikaitkan dengan berkurangnya jumlah konsentrasi uap air di troposfer (Soden B.J. et al., 2002).
b.      Dampak Tidak Langsung
Selain berdampak langsung terhadap iklim,  aerosol  juga memberikan dampak tidak langsung. Dampak tidak langsung aerosol dapat didefinisikan sebagai proses-proses yang disebabkan oleh aerosol dan berdampak pada gangguan keseimbangan radiasi atmosfer bumi dengan cara memodulasi albedo awan ataupun jumlah awan, yaitu bertindak sebagai inti kondensasi awan (CCN: cloud condensation nuclei) dan inti es (IN: ice nuclei). Adanya  aerosol yang tersuspensi ke dalam awan akan menyebabkan semakin banyaknya inti awan (CN: cloud nuclei) sehingga albedo awan menjadi meningkat dan waktu hidup awan juga menjadi lebih lama. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya jumlah curah hujan.
Dampak tidak langsung aerosol terhadap iklim lainnya adalah berkurangnya ukuran butiran awan (cloud droplet). Butiran awan yang terdapat di atas samudera atlantik memiliki ukuran yang lebih kecil untuk awan yang terpolusi dibandingkan dengan awan yang bersih (Breguier et al, 2000; Schwartz et al., 2002). Pengamatan jangka panjang menggunakan satelit untuk daerah China dan Eropa menujukkan dampak tidak langsung aerosol yaitu menurunkan planetary albedo yang dapat dihubungkan dengan penyerapan aerosol pada musim dingin (Krüger and Graßl, 2002, 2004; Krüger et al., 2004). Dengan demikian maka butiran awan yang lebih kecil akan mengurangi efisiensi presipitasi dan sekaligus menambah waktu hidup awan dan reflektivitasnya.
4.        Dampak Aerosol terhadap Radiasi Matahari
Partikel-partikel aerosol memiliki sifat yang dapat menghamburkan (atau memantulkan) dan/atau menyerap radiasi sinar matahari. Sifat menyerap radiasi mengakibatkan memanasnya lapisan atmosfir yang mengandung aerosol, sementara sifat menghambur radiasi (scattering) menyebabkan redistribusi (penyebaran kembali) radiasi, termasuk membaliknya radiasi matahari itu ke arah luar bumi (luar angkasa).
Efek radiasi langsung aerosol tergantung pada sifat fisis yang disebut sebagai single scattering albedo (SSA). SSA didefinisikan sebagai perbandingan antara radiasi yang dihambur dengan yang diserap oleh partikel-partikel aerosol.


5.        Dampak Aerosol terhadap Hujan Asam
Aerosol yang berada di lapisan troposfer, akan terdeposisi ke permukaan bumi melalui proses deposisi basah dan kering. Deposisi basah terjadi jika aerosol terlarut ke dalam air hujan dan turun bersama-sama dengan hujan. Sebaliknya, deposisi kering terjadi melalui proses pengendapan yang tidak melibatkan kejadian hujan. Jika aerosol yang terlarut ke dalam air hujan merupakan senyawa yang bersifat asam (misalnya turunan dari SO2 dan NOx) maka pH air hujan akan mengarah kepada pH yang bersifat asam. Dalam hal ini, kemampuan tanah dalam menetralisir senyawa yang bersifat asam akan sangat menentukan kelestarian lingkungan hidup. Tanah yang bersifat asam cenderung akan kehilangan zat  gizi yang dibutuhkan oleh tetumbuhan yang akhirnya akan menurunkan jumlah tetumbuhan yang dapat tumbuh. Tentu saja ini akan mengganggu keseimbangan alam.
Efek hujan asam berbeda-beda terhadap lokasi. Rusaknya permukaan dedaunan ataupun batang pohon akan menurunkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan iklim yang ekstrim (panas atau hujan) dan juga mem- pengaruhi kesuburannya. Hutan-hutan dataran tinggi sangat mudah terkena serangan penyakit karena mereka dikelilingi oleh awan ataupun kabut  yang bersifat lebih asam. Tetumbuhan juga menderita karena pengaruh hujan asam terhadap tanah. Kontaminasi hujan asam yang berlebihan pada tanah akan cenderung menghilangkan zat gizi yang penting, dan ini akan menurunkan kandungan aluminium di dalam tanah. Kekurangan senyawa alumunium menyebabkan pertumbuhan tumbuhan menjadi lebih lambat atau bahkan mati sama sekali.

6.        Dampak Aerosol terhadap Penipisan Lapisan Ozon
Pemantauan aerosol stratosfer secara rutin dilakukan sejak Oktober 1978 menggunakan sensor Stratospheric Aerosol Measurement II (SAM II) yang ditumpangkan pada Satelit NIMBUS 7. Proyek penelitian ini mengarahkan kepada penemuan PSCs dan diketahui bahwa PSCs ini memiliki siklus musiman di kedua belahan kutub dunia. Sifat- sifat PSCs ini diketahui dari pengamatan menggunakan sensor tersebut. Diketahui bahwa koefisien peluruhan (extinction) PSCs berkisar antara 10-3/km hingga 10-2/km. meskipun tidak ditemukan awan dengan koefisien ekstingsi yang lebih besar daripada 10-2/km namun ada indikasi bahwa hampir sebagian besar awan memiliki indikasi optical depth. Ini penting karena meskipun suhu di stratosfer mencapai -80°C hingga -85°C, namun air murni akan terkondensasi (dengan asumsi bahwa kandungan air 5 ppmv). Jika setiap partikel aerosol stratosfer ambient menjadi tetes awan (water cloud droplet) maka awan akan terkomposisikan dari tetes dengan jejari 2-3 mikron dan awan akan memiliki ekstingsi yang lebih besar daripada 10-1/km.
Polar Stratospheric Clouds (PSCs) merupakan awan stratosfer yang tersusun atas larutan asam nitrit dengan sejumlah kecil HCl dan H2SO4. PSCs dapat juga terkomposisi dari campuran bahan-bahan kimia yang lainnya, terutama N2O5, ClO, dan ClNO3, dan merupakan unsur penting dalam peristiwa  terjadinya  lubang  ozon. PSCs memiliki efek yang  tidak baik terhadap ozon, yaitu (i) memisahkan oksida nitrat (misalnya asam nitrit, NO2) yang dapat bereaksi dengan klorin monoksida (ClO) untuk membentuk klorin nitrat (ClONO2), dan (ii) bertindak sebagai tempat terjadinya reaksi fase gas yang lambat menjadi sangat cepat secara heterogen (gas yang bereaksi pada permukaan benda padat). Efek yang kedua ini dapat digambarkan sebagai berikut,
HCl + ClONO--- pada permukaan es  ---  à Cl2 (gas) dan HNO3
Reaksi tersebut dapat berlangsung secara cepat pada permukaan butiran awan cirrus stratosfer yang berwujud kristal. Adanya SO2 di dalam butiran awan akan mengubah sifat optis awan sehingga berwujud sebagai kristal es pada lapisan stratosfer. Selanjutnya, klorin akan mempercepat proses perusakan ozon melalui reaksi sebagai berikut,
Cl + O3 à. ClO + O2
ClO + O à Cl + O2
Hasil dari rangkaian reaksi tersebut adalah O3 + O à 2O2, yaitu berubahnya satu molekul ozon menjadi 2 molekul oksigen akibat adanya senyawa klorin.
SO2 gunung berapi dapat mengurangi lapisan ozon dengan cara menyerap radiasi matahari pada panjang gelombang 180 – 390 nm, yaitu panjang gelombang yang bersesuaian dengan proses fotolisis O2 (diperlukan saat pembentukan molekul ozon). Karena terjadi pengurangan proses fotolisis maka berakibat juga pada berkurangnya proses pembentukan ozon. Selain mengurangi proses pembentukan molekul ozon, SO2 juga dapat menambah konsentrasi ozon stratosfer, yaitu  dengan cara menyerap radiasi ultraviolet matahari untuk menghasilkan precursor ozon (atom O). Dengan kata lain, SO2 mengkatalisis proses  pembentukan ozon, seperti ditunjukkan pada persamaan reaksi berikut,
SO2 + hν à SO + O  (λ < 220nm) 
SO + O2 à SO2  + O
2(O + O2 + M à O3  + M)
3O2 à 2O3
Pada panjang gelombang kurang dari 220 nm, SO2 akan terurai menjadi satu molekul SO dan satu atom O yang bersifat tidak stabil. Molekul SO kemudian akan bereaksi dengan molekul oksigen lainnya untuk menghasilkan molekul SO2 kembali dan satu atom O. Selanjutnya atom oksigen dan molekul oksigen akan bergabung kembali menjadi molekul O3. Akhirnya, dengan bantuan molekul SO2 dan radiasi matahari (λ < 220nm) maka 3 molekul oksigen akan diubah menjadi 2 molekul ozon pada lapisan stratosfer.
7.        Dampak Aerosol terhadap Pembentukan Awan
Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku ( > 00C).
Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan hangat, sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed cloud).


a.      Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin
Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin (supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses kristal es.
Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di bawah titik beku, awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju.
Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa mencair.
b.      Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat
Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 - 0,1 mikron) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan.Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan.
Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 - 5 mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30 mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 - 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan).
Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan penggabungan tidak terjadi.

E.     Tipe Plume (Gumpalan) Klasik
1.      Looping Plume
Lapse rate super-adiabatik  dari bawah ke atas untuk ketinggian  plume, dan pergerakan plume cepat naik dan turun karena perjalanan melalui termal.
Gambar adalah snapshot, tetapi jika Anda melihat ini dari waktu ke waktu, Anda akan melihat plume menyebar sangat luas secara vertikal.

2.      Coning
Coning plume terjadi ketika ada kira-kira lapse rate netral dari permukaan sampai ketinggian plume.
plume ini tumbuh secara bertahap baik ke atas dan ke bawah, menyebabkan bentuk kerucut ini.



3.      Fanning
Bahwa lapse rate aktual (garis merah gelap) sangat stabil dibandingkan dengan garis putih putus-putus, yang merupakan lapse rate adiabatik.  Sebuah plume fanning cenderung sangat sempit di vertikal dan terjadi dalam waktu singkat. Tipe ini cenderung untuk menyebar luas di horisontal dan  sangat terbatas di vertikal.



4.      Lofting Plume
Lapisan stabil terletak di bawah lapisan netral atau tidak stabil sehingga plume yang naik ke atas.
Hal ini tidak dapat terpecah di bawah karena inversi dan lapisan stabil, sehingga Anda mendapatkan tampilan ini dengan dasar datar dan plume naik di atas.




5.      Fumigation Plume
Merupakan kasus khusus dari plume fanning yang melewati transisi. Bayangkan bahwa plume fanning, yang sangat stabil dan sangat terbatas, memperpanjang jarak yang signifikan keluar di pedesaan. Kemudian ketika pagi datang, lapisan stabil mulai terkikis dan karena mencapai pada ketinggian plume, mencampur plume ke tanah. Yang penting adalah untuk menyadari bahwa proses ini dapat memperpanjang plume terkonsentrasi pada jarak yang signifikan dari sumber dan kemudian dengan cepat mencampurnya dengan tanah, yang dapat menempatkan penduduk di daerah itu pada bahaya.





DAFTAR PUSTAKA

Fleagle, R.G. 1980. An introductionto Atmospheric Physic.Washington University, 1980
Tjasyono H.K : Meteo Fisis, Dikata ITB
https://scied.ucar.edu/sites/default/files/images/large_image_for_image_content/atmospher e_layers_diagram_720x440.jpg

Fleagle, R.G. 1980. An Introduction to Atmospheric Physics. New York: Academic Press
jurnal.lapan.go.id/index.php/berita_dirgantara/article/view/2060/1871
Haryanto, Herry. 2011. Materi Kuliah Meteorologi Umum :Cloud Development Process

http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakfenomena&1352896307

Posting Komentar

0 Komentar